Pages

Sabtu, 27 November 2010

IPK vs Soft Skill

Tulisan ini aku tulis sebelum melakukan rekruting dua pekan lalu. Ditulis di blogsebelah, tapi aku reposting disini untuk melengkapi diksusi soal IPK.
dg_banner1.pngLagi-lagi sebuah tulisan di Pikiran Rakyat (lihat dibawah sana) yang bikin jari-jari gatel untuk menanggapi )
Buat ndongeng sih kalau bisa simple saja, coba saja menggunakan teorinya orang mining (pertambangan) dalam mencari emas … gunakan “trace element” ! IPK hanyalah “trace element” bukan “the precious metal
( “Wah hebat dhe, teori pertambangan kok untuk njelasin pendidikan”
D “Prinsip ilmu iku lebih banyak menggunakan analogi thole”
( “Aku juga pakai analogi jawaban sebelahku kalau lagi test. Hasilnya memang jadi bagus Pakdhe”
D “Hush !! kuwi namanya kowe nyontek thole !”( “Lah, Pakdhe bilangnya simple aku ini masih mumeth mikirnya, dhe ?”:P
IPK dalam rekruitment pegawai. Sebagai seorang pengguna produk sekolahan (lulusan) maka aku masih menggunakan IPK dalam memilih pegawai. Tentusaja asumsinya IPK (Indeks prestasi komulatif) “berkorelasi positip” dengan kesuksesan, sehingga saya masih tetap akan menggunakan IPK sebagai parameter untuk seleksi. Walaupun kadangkala nilai koefisien korelasinya rendah, tetapi secara praktis parameter lebih mudah diukur dan lebih general. Karena softskill(yang menurut tulisan dibawah) isinya salah satunya kesopanan itu tidak terukur dengan mudah.
Mirip pemanfaatan mineral petunjuk (trace element) dalam teori geostatistik di pertambangan. IPK hanyalah “trace element” yang akan menunjukkan lokasi dimana (mungkin) akan dijumpai “precious metal (gold)”. Misalnya mencari emas ya cari saja trace-trace element untuk mencari emas. Trace element ini lebih mudah diukur, lebih murah biayanya dan dapat dilakukan dalam sampel yang buanyak.
tracer.jpgGold Trace Element atau trace metal adalah logam-logam yang sering dijumpai bersama-sama dengan emas. Keberadaan logam-logam ikutan yang lebih sering diketemukan dalam jumlah besar juga sering berasosiasi dalam bentuk mineral serta batuan tertentu. Trace-trace atau jejak-jejak ini lebih mudah diikuti dan lebih mudah dicari sebagai petunjuk dimana akumulasi emas berada.
Cara-cara ini lebih umum saat ini dilakukan karena biayanya mudah serta dengan adanya model geostatistik atau spatial statistic menjadikan pengenalan trace element (trace metal) atau juga trace mineral menjadi cara yang paling sering dilakukan dalam pertambangan.
Gambar di atas ini menunjukkan bagaimana distribusi atau penyebaranemas (Gold) yang terdapat dalam sebuah daerah yang diikuti oleh trace element warna biru. Ditempat yang banyak trace elemen warna birunya juga disitu terdapat konsentrasi emas, namun kebalikan dengan trace elementwarna merah. Dengan mengetahui distribusi warna merah dan warna biru, dapat diketahui dimana kira-kira terdapat kumpulan emas. Trace element ini mudah dijumpai mudah diukur dan ada di banyak tempat. Sehingga dapat dipakai sebagai petunjuk distribusi emas.
Apakah trace element (untuk emas) selalu benar menunjukkan dimana ada emas ?jelas tidak ! Tapi cara itu merupakan cara praktis yang mudah di audit dan dievaluasi untuk proses selanjutnya. Jelas harus diingat IPK ini salah satu parameter paling mudah “terukur”, mudah diperoleh (sudah tersedia) dan diketahui faktor relasinya dengan kemampuan seseorang.
Pehatikan salah satu kalimat di artikel itu, baca dibawah ini :
Quote Perolehan IPK tinggi mulai diragukan oleh banyak kalangan. Dampaknya, konsumen cenderung tidak terlalu bersemangat merekrut alumni PT yang IPK-nya terlalu tinggi. – end quote
Kalau hal diatas ini terjadi, yang keliru adalah yang mengeluarkan IPK. Hasil (angka) IPK semestinya mencerminkan kemampuan “Cognitive” lulusan. Jadi, para pengajar (dosen) mesti pinter memberikan nilai atau mengukur kemampuan muridnya, sehingga IPK menjadi lebih bermakna. Jangan menyalahkan banyaknya kalangan (misal rekruiter) yang salah telah menggunakan IPK dalam seleksinya. Lah kalau institusi pendidikannya ngga memberikan rangking lulusannya siapa lagi yang mesti melakukan ?
Mnurutku tulisan ini justru ditujukan (menjadi tantangan) buat institusi pendidikan supaya mampu memberikan IPK yang bener-bener mencerminkan kemampuan lulusannya. Bukan sekedar angka yang dicantumkan dalam kalung leher alumninya tanpa makna.
Barangkali ada beberapa softskill (affective +behavioral) yang dapat dimasukkan (ditempelkan) dalam memberikan nilai yang berdampak pada IPK, misalnya
- Salah satu test dilakukan dengan membuat program komputer atau memanfaatkan komputer (untuk menguji kemampuan komputer)
- Test (ujian) dengan cara dipresentasikan (menguji kecakapan komunikasi)
- Tugas (ujian) dilakukan dalam kelompok (menguji kemampuan berorganisasi/teamwork).
- dll
Orang tua masih menggunakan IPK untuk melihat kemajuan studi anaknya. Rekruiter masih mensyaratkan IPK dalam mencari pegawai baru. Jadi pak Asep (penulis artikel ini) juga kawan pendidik jangan salahkan kalangan masyarakat pengguna IPK kalau IPK tidak berarti. Justru saya berpikiran terbalik, tugas dan tantangan institusi pendidikan yang semestinya menjadikan IPK lebih berarti supaya ada gunanya. Saya sendiri tidak tahu apa tolok ukur kemajuan proses pembelajaran (”learning process“) di universitas / institusi pendidikan. Saya yakin IPK menjadi salah satu parameter utk melihat kemajuan-kemunduran proses pembelajaran.
Sebagai dasar uraian diatas aku tampilkan sedikit hasil baca-baca ttg pendidikan ksds (kalau salah dikoreksi saja). Dalam ilmu pendidikan yg pernah saya baca paling tidak ada 3+1 faktor utama kemampuan manusia… Cognitive, Affective, danBehavioral (kadang ditambah Brain sebagai fisik-nya). IPK memang mungkin hanya mengukur Cognitive saja, namun bisa saja ada faktor afektif yang masuk didalamnya. Sedangkan behavioral (perilaku) ini merupakan faktor yang akan juga mempengaruhi tingkat kesuksesan sesorang, hanya saja tidak ada atau sangat sulit mengukurnya. Ke 3+1 faktor ini akan saling mempengaruhi, semuanya menentukan tingkat kesuksesan seseorang.
Mudahnya pakai conto begini saja, bagaimana mengukur kesopanan dan keberanian mengeluarkan pendapat. Satu sisi diperlukan pendorong dilain sisi diperlukan penahan. Keduanya memang bisa complimentary (saling mengisi) tapi ketika masuk dalam sebuah community tertentu bisa-bisa malah dibaca kontradiksi.
MM dan MP
Saya pernah merasakan jadi MM (Mahasiswa Muda) ketika kuliah di Geologi UGM, dan juga pernah merasakan sebagai MP (Mahasiswa Pegawai) ketika sambil kerja ikutan kuliah lagi di Geofisika UI. Keduanya memiliki aspek pembelajaran tersendiri. Namun saya masih banyak menghargai MM yang dengan “culun”nya mengerjakan ketelitian angka hingga 0,000001 centimeter untuk menentukan posisi atau lokasi sebuah sumur migas. Penting buat mereka (MM) tentang ketelitian ini, walaupun sakjane “in the real world” tidak dipakai tapi bagi MM masa-masa itu perlu dilewati. menjadi MPpun jelas sangat berat saya rasakan. Bagaimana pulang kantor harus mengerjakan PeeR yang isinya teori-teori yang barangkali sangat sedikit saya pakai nantinya di kantor. Tetapi proses pembelajan ini menjadikan MP untuk selalu berpikir berdasar logika, berdasar pemikiran teoritis dan ilmiah. Bekerja secara real bukan hanya mengandalkan “rasa” atau intuisi saja, mesti ada teoritical background-nya. Pekerjaan selalu menuntut hasil kerja saya yang harus bisa dipertahankan nilai ilmiahnya juga.
Ijazah (gelar kesarjanaan) mungkin tidak berarti ketika bekerja, tetapi selama proses mendapatkan ijazah inipun sudah cukup banyak membekali anak didik (mahasiswa) ketika bekerja nantinya. Ijazah memang hanya sebagai bukti pencapaian, apapun proses yang dilaluinya. Mental “njujug” (jalan pintas) mendapatkan nilai ataupun ijazah ini memang menganggu. Seperti yang Pak Asep tuliskan bahkan dikomersialisasikan, ini memang memprihatinkan.
IPK masih penting untuk mahasiswa
Jadi saran bagi mahasiswa yg masih aktif di kampus … kejarlah IPK tinggi karena IPK itu merupakan password (keyword) yang akan membuka pintu karier. Namun setelah berada didalam ruang kerja, IPK (kunci) itu memang mungkin tidak terpakai lagi, kau harus menggunakan softskill itu. Itu hanyalah “rule of the game …. nothing more“.
Yang perlu hati-hati adalah ketika anda merupakan anggota dari anomali, baik anomali IPK tiggi maupun anomali IPK pas-pasan. Jangan menggunakan argumentasi anomali sebagai penarikan general trend
referensi : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/18/0901.htm IPK vs “Soft Skill” Oleh ASEP SUMARYANA

0 komentar:

Posting Komentar